BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Monday, May 26, 2014

You

"I don't know what happen right now... With all things around me, with that peoples and with me.

I can't understand, I can't feel anything, I can't stay awake.
Well... I don't know exactly why...
I think, I am numb."

--

I sit at my room, read Murakami, a cup of tea beside my comfy bed.
That night isn't like other nights before, and start tomorrow my day will be different until the time that I never know.
I lean my head, staring at the ceiling, my mind full with distraction.
I decide to close my book then close my eyes, try to relax my mind.

Yes, it works.
In there I see your face, with your sweetest smile.
Well... I love that smile most.
My cheeks got red, my nose too, got so blushing red so sudden.
No more words I can say and describe this deep feeling. I don't know who am I!

The time is ticking and it's getting late night.
I jump on my bed, pull my blanket, crawling inside, and hug my teddy so tight like I don't wanna let go.
Yes, actually I don't wanna let you go.
But I don't wanna be so selfish, it's for your good.

Well... I think, all that I know I will so missing you, I will miss your smiles, hugs, and kisses.
And I have just realize, that tomorrow will be totally different for me.
Without you to holding on.

--

"It will become the memories, sweetest memories of us. It will last, will last in my heart and my mind forever."

Wednesday, May 7, 2014

Sisa Waktu

"Ahh panas banget!" ucapku sambil menyeka keringat di tubuhku.
Memang sudah sejak kemarin udara yang biasanya sejuk sepoi-sepoi berubah drastis menjadi panas sumpek, maklum memang sedang dalam proses perubahan cuaca.
Mungkin tak hanya hari ini aku mandi hingga tiga kali sehari, saking panasnya.

Siang tadi seperti biasa aku menunggu jemputan di dudukan pinggiran trotoar, waktu menunjukan sekitar pukul dua kurang lima menit.
Kipas... kipas dengan kertas seadanya sambil bermain asik dengan telepon genggam, sedikit bertingkah dan berkata konyol menggoda pria yang akan menjemputku.
"Ayooo buruan jemput, anasss angeeeddhh nicchh..." aku hanya tersenyum setelah mengirimkan pesan itu, hahaha, terlihat begitu konyol dan yang pasti alay.
Tak lama ia pun datang dengan motornya merahnya berplat Jakarta yang tak asing lagi bagiku, bahkan aku cukup hafal jika harus menyebutkannya.
Seperti biasa ia menggoda dengan kata-katanya serta tatapan matanya yang menggambarkan senyuman jahil yang tertutup oleh helm full-face miliknya.
Akupun hanya tertawa dan naik ke atas motor dengan segera.

Sungguh panas begitu menyengat, tapi hal itu tak menganggu cengkrama kami dan pembicaraan kami yang tiada habisnya, dimulai dari hal yang serius hingga tak pentingpun terlontar juga dengan asiknya dari mulut kami masing-masing.
Aku dan ia berbaring bersebelahan, membicarakan tentang hal yang cukup ringan dan bernyanyi lirih, sesaat kami terdiam.
Kemudian terpikir olehku untuk bertanya padanya, ya yang pasti aku sudah memprediksi jawabannya dan bagaimana tanggapanku kelak.
"Emm, oh iya, setelah nanti kamu wisuda terus kamu langsung balik?" tanyaku dengan santai.
"Mmm.. kayaknya sih iya..." jawabnya.
"Beneran? Langsung gitu?" tanyaku memastikan.
"Iya, kan aku kerja...."
"Oh. Trus gak kesini lagi?" tanyaku dengan lebih lirih.
"Ya mungkin aku kesini, itupun kalau kamu juga masih disini... Sebulan sekali aku balik... Kenapa no?" ungkapnya padaku sambil matanya sedikit terpejam.
"Gapapa..." jawabku singkat
"Kamu kepikiran ya? Gimana dong nanti kalau aku gada disini?" tanyanya lagi dengan nada sedikit mengantuk.
Aku hanya menghela nafas dan diam tak menjawab pertanyaannya.
Bukan, bukan karena aku tak mau menjawab ataupun berarti aku tidak memikirkan dia namun aku tak mampu untuk menjawabnya.
Ia pun tertidur tak lama kemudian, aku memanggil dirinya, tak ada respon sama sekali.
Selama beberapa menit ia tertidur itu aku terjaga dan terus terpikirkan dalam kepalaku, sesekali aku menengok ke arahnya, menatap wajahnya yang menjengkelkan namun manis dan begitu ku sayang dan cinta. Selama beberapa menit itu pula diam-diam air mata jatuh, semua pikiran dan perasaanku saat itu bercampur sudah tak berbentuk. Senang, bahagia, bangga, sedih, khawatir, bingung yah entahlah apa itu semua tak bisa menggambarkan dengan jelas pasti bagaimana sebenarnya.

Perlahan kubangunkan dirinya, dengan lembut dan ia terbangun.
"Eh, aku ketiduran ya?" sambil sedikit mengangkat kepalanya melirik jam di atas rak bukunya.
"Iya..." jawabku tersenyum sambil menyeka sisa air mata.
Ia lalu memeluk diriku dengan lembut dan hangat, sambil berbisik kata cinta padaku, aku membalas pelukannya dengan erat dan berbisik cinta padanya.
Sekali lagi aku membeku tak bisa berkata, ku tak ingin ia melihat kelabu, ku hanya ingin sisa waktu yang berdetak cepat ini begitu dinikmati sedemikian rupa.
Dihiaskan oleh senyum, memori indah, harapan serta doa terbaik yang tak akan pernah berhenti.
Terlebih lagi oleh cinta.

Thursday, February 20, 2014

Ribuan Kilometer

Dan saat ini setelah ribuan kilometer perjalanan ini, kesimpulanku hanya satu.

Ini bukan siapa terikat dengan siapa, atau siapa terlihat dengan siapa. Atau siapa berjanji dengan siapa.
Bahkan bukan siapa ada untuk siapa.
Tapi siapa yang melintas dalam benak setiap kita setiap hendak berucap.

Siapa yang spontan kita rindukan ketika ingin berbagi pikiran.
Siapa yang bisa kita ceritakan saat berbagi dengan kawan.
Siapa yang diam-diam hidup dalam kenangan. Atau hadir membayang.
Siapa yang munculnya dalam ingatan begitu menyesakkan, tapi entah bagaimana mampu membuat senyum mengembang lebar.
Siapa yang kita pikirkan saat mendengarkan lirik lagu cinta murahan.
Siapa yang sedang kita tertawakan sekarang -- siapa yang kita benci, tapi sialnya bikin rindu dan mencinta setengah mati.

Sunday, November 3, 2013

Tuut.. Tuut..

"Tuut tuut... Tuut tuut.. Tuut tuut........" mati tak ada jawaban.

Dering sambungan telefon sore itu terus menyibukkan dirinya. "Tidak, janganlah mati dulu!" gumamnya sendirian diantara orang-orang asing yang dimana juga turut serta larut dalam kepanikan.
Hujan lebat, angin kencang, langit gelap kala itu. Ia tetap menyibukkan diri untuk mendapatkan jawaban.
Bermodal tas kecil yang di dalamnya hanya berisi dompet receh dengan uang pas-pas an , sapu tangan bertuliskan nama inisial kekasihnya, serta partitur piano yang lusuh terlipat-lipat setelah latihan tadi. Bagaimana ia mampu untuk pulang jika seperti ini keadaannya?

Takut. Kala itu begitu takut dirinya melihat angin besar terus bertiup merobohkan satu persatu pohon di depan toko kecil yang terkunci rapat dimana ia berteduh. Nyaris saja sebuah dahan yang cukup besar menghantam dirinya yang terlalu sibuk menunduk dengan telepon selular membalas pesan singkat.
Jikalau saja tubuhnya tak ditarik oleh seorang ibu, pasti sudah menjadi slah satu korban amuk angin. "Awas mba!" teriak sang ibu. Jantungnya terasa berhenti kala itu.

Ia terlamun.
Tak ada siapapun di rumahnya.
Tak ada siapapun juga yang berani keluar dari rumah.
Ia coba untuk menghubungi sekali lagi, baru beberapa deringan. Mati.
"Sial! Kenapa harus habis baterai! Sh**!" ungkapnya sambil gemetar menahan dingin.
Emosinya mulai memuncak tak jelas kala itu. Semua bercampur menjadi satu.
Ia begitu lelah, setelah dari pagi hingga petang berlatih.
Ia begitu lelah. Lelah. Sungguh.

Tiga jam ia harus menanti untuk benar-benar reda.
Ia mulai berjalan mencari alat transportasi yang mungkin cukup dengan jumlah kepingan uang yang kupunya sekarang. Tak ada sedikitpun.
Ia terlihat berantakan, sungguh berantakan.
Sejak semalam ia sudah begitu berantakan, terlelap hanya dua jam, sisanya terbangun oleh lamunan rindu, sampai-sampai hidungnya berdarah entah mengapa.
Benar-benar ia menanti sapaannya. Telefon maupun setidaknya pesan singkat. Tapi sepertinya tak akan ada. Tiap menit diceknya layar telefon itu. Lalu ia mulai tak tahan dan mengetik.
Pagi, ucapnya.

Kakinya mulai gemetar karena lelah berjalan dan dingin yang menusuk.
Kata 'Andai' mulai membayang di pikiran, seperti gadis korek api yang berimaji di tengah dinginnya salju.
Andai saja... Andai saja... Andai saja...
Tubuhnya seakan terasa melayang saat itu, seperti tak sadar.

Sesampai di rumah, sepi.
Langsung dengan sigap ia menuju kamar,
mencharge telepon genggam, dinyalakan,
sayang, tak dapatkan apa-apa.
Terasa hela nafas yang begitu panjang sampai tiba-tiba
meledaklah tangisannya kala itu.
Suara serak tangisan sambil berteriak layaknya ada penculik memenuhi ruangan.
Tangisan dan teriakan karena lelah,
dari tubuh yang masih terbalut pakaian basah bermandikan hujan.
Suaranya,
semakin lama semakin lirih,
dan nantinya akan tertidur dengan sendirinya,
menggenggam foto wajah pujaan rupawan yang dirindu.



Sayang,
Aku rindu.
Aku begitu rindu.
Sayang, apakah kau juga?
Sayang,
Aku cinta.
Aku begitu cinta,
hingga tak pernah bisa waktu menahan rasa cintaku.
Akupun tak mampu.
Aku selalu mencintaimu.
Sayang, apakah kau juga?
Sayang,
Aku tak ingin seperti ini.
Sebenar-benarnya kita tak menyukai ini.
Sayang,
Aku rindu dirimu yang hangat seperti biasanya,
mentari yang selalu menyinari,
seorang lelaki pilihan pendamping kini dan nanti.
Sayang,
apakah kau mendengar dan merasakannyanya?
Lantunan nada itu?
Ya.
Hanya berdegup untuk dirimu, sayang.

Sunday, September 8, 2013

Mentari

Tanganku sibuk menari di atas keyboard pagi itu.
Dengan kacamata berbingkai cokelatku kutatap layar monitor itu.
"Aduh.. Keriting nih otak.." ucapku.
Tak mudah juga ya ternyata menulis itu, menulis juga perlu befikir, apalagi menjelaskan grafik yang ada di depanku dengan singkat, padat, dan jelas mencangkup semuanya.
Berhenti sejenak mengistirahatkan diri, terpajang foto manisnya dengan diriku dalam bingkai di atas meja kayuku.
Aku menatapnya dan tersenyum.

Sesaat aku teringat tentang waktu, ah tak terasa begitu cepat berlalu.
Lihatlah, kau telah menyelesaikan salah satu kewajiban penting sebagai syarat untukmu menyelesaikan akademikmu nanti.
Dua bulan, bukan waktu yang singkat juga bukan waktu yang lama, entahlah terasa begitu membingungkan untukku yang rindu.
"Hemm.." kuhela nafasku, sedikit berat.
Aku teringat, sesaat lagi kau akan menghadapi ujian yang paling akhir.
Kau berkata mungkin Februari kau akan memegang toga itu.

Senang melihat kau bisa mewujudkan harapan dan impianmu.
Aku akan hadir disana, di sisimu.
Namun jika boleh aku berkata, dibalik senyumku aku juga merasa sedikit mendung.
Mungkin aku takut belum siap untuk ditinggal kembali denganmu, terpisah oleh jarak dan waktu.
Ya pasti ku merindu.
Namun harapanku juga satu, ingin melihat orang yang menjadi pendampingku untuk sekarang maupun esok meraih mimpinya dan membanggakan orang-orang yang di mencintainya, Papa, Mami, Kakak, dan Adik ciliknya yang menggemaskan.
Ku tak hanya ingin ia menjadi sebuah mentari untukku namun juga untuk keluarganya, itu yang utama.

Ah, sudahlah pikiranku meracau, bisa-bisa mulai melambung membayangkan yang tidak-tidak nantinya.
Membuatku biru dan menitik hujan.
Tidak sayang, ku takkan menangis, ku kan tersenyum untukmu.
Tenang sayang, ku akan selalu ada di sisimu, menemanimu sampai kapanpun.
Jadilah mentari yang selalu bersinar hangat untuk mereka dan kita.

Saturday, August 24, 2013

Waktu

Pagi, sayangku.
Sayangku, bagaimana kabarmu? Masihkah terlelap? Atau sudahkah kau terbangun dari tidurmu?
Bagaimana tidurmu? Lelap. :)
Sudah belakangan ini ku tak bisa tertidur nyenyak, seperti ada yang terus mengganggu diri.
Selamat pagi sayang. Aku tak dapat melihat sapaanmu di pagi ini.
Mentari masih bersembunyi.

Waktu berdetak.

Siang, kasihku.
Sayangku, bagaimana kabarmu? Sedang apakah dirimu? Berada dimanakah dirimu? Sudahkah kau menyantap hidangan siangmu?
Selamat siang sayang. Aku baik-baik saja, hanya aku semakin merindukanmu.
Ku tatap layar ponsel. Tak kunjung memunculkan apa yang kuharapkan.
Ku tekan tombol hijau itu, hanya nada dering dan mesin yang menyahut. Tak terangkat.
Diriku tersenyum, menanti, sembari mencoba menenggelamkan diri dalam mimpi.

Waktu terus berdetak, semakin lambat, semakin larut.

Malam, cintaku.
Sayangku, bagaimana kabarmu? Belumkah kau pulang? Apakah masih berkerja dirimu selarut ini? Sudahkah kau menyantap hidangan malam yang menggoda itu?
Selamat malam sayang. Aku masih menanti dirimu, mungkinkah kau sudah terlelap dahulu.
Rindunya semakin menusuk, tak ada sepatah kata.
Aku terbayang dirimu, wajahmu, menemaniku dimana ku berbaring.
Ku menanti dan mencari.
Dengan tubuhku yang sedari pagi hanya terbujur di atas kasur ini sembari menanti dering nada.

Maaf sayangku, jika aku terisak kembali saat menuliskan ini, aku hanya sedikit lelah. Bukan lelah menanti.
Maaf sayangku, jika aku membisu dan hanya tersenyum sambil menitik air mata.
Ku berimaji kembali diiringi rekaman nyanyian dirimu.
Maaf sayangku, aku begitu merindukan dirimu, seperti bulan, mentari, dan bintang yang ku ceritakan padamu.

Tuesday, August 20, 2013

Hai

Hai sayang, sedang apa kau disana?
Pasti kau cukup lelah, sedari pagi kau sudah berkerja.
Pulang cukup larut malam, belum lagi jika harus masih berkumpul membicarakan agenda.
Tak mengapa, kau orang yang istimewa, kau pasti bisa.
Tenang ku akan selalu disisi menanti.

Hai sayangku, lihatlah bulan malam ini.
Begitu indah bukan?
Bulan penuh, bercahaya lembut hangat, berpadu dengan angin dingin malam ini.
Begitu manis, seperti dirimu.

Hai sayangku, aku disini, kemarilah!
Duduklah sejenak disampingku,
menikmati malam syahdu.
Jika kau lelah, sandarkan dirimu dipangkuanku, lalu kita akan bercerita hingga kau terlelap.
Tidurlah, lepas penatmu bersamaku.

Perlahan,kau mulai tertidur.
Ku tersenyum memandang wajah lugumu yang manis.
Membelai pipi dan rambutmu yang membuatku iri akan lebatnya.
Ku kecup keningmu dan mengucap salam,"Selamat tidur, aku mencintaimu."
Ku dekap dirimu dan kuyanyikan lagu cintaku sebagai penghantarmu ke dalam mimpi.

Tertidur dan Terbangun

Aku berjalan bersamamu, menyusuri gelapnya malam, hanya sang rembulan yang berkawankan bintang menerangi gelapnya malam.

Ku tak tau arah dan akhir dari jalan ini,
yang ada aku merasa aman dan yakin.
Dekap hangat, senyum manis, suara memanja itu yang kusuka.
Tak henti-hentinya diriku memandangmu,
engkau sayangku.

Berjalan dan terus berjalan,
ku terbangun,
kusadari ternyata ku hanya bersama bayang semu yang begitu kurindu untuk segera kembali.
Sedari tadi aku tertidur,
dalam hangat kasihmu dan kecup bibir manismu.

Dan akupun terbangun,
terbangun dan terdiam terpaku.
Membisu tak berkata pada apa yang kusaksikan, diperbuat mentari.
Aku memilih menyimpan dan terpejam kembali.