"Tuut tuut... Tuut tuut.. Tuut tuut........" mati tak ada jawaban.
Dering sambungan telefon sore itu terus menyibukkan dirinya. "Tidak, janganlah mati dulu!" gumamnya sendirian diantara orang-orang asing yang dimana juga turut serta larut dalam kepanikan.
Hujan lebat, angin kencang, langit gelap kala itu. Ia tetap menyibukkan diri untuk mendapatkan jawaban.
Bermodal tas kecil yang di dalamnya hanya berisi dompet receh dengan uang pas-pas an , sapu tangan bertuliskan nama inisial kekasihnya, serta partitur piano yang lusuh terlipat-lipat setelah latihan tadi. Bagaimana ia mampu untuk pulang jika seperti ini keadaannya?
Takut. Kala itu begitu takut dirinya melihat angin besar terus bertiup merobohkan satu persatu pohon di depan toko kecil yang terkunci rapat dimana ia berteduh. Nyaris saja sebuah dahan yang cukup besar menghantam dirinya yang terlalu sibuk menunduk dengan telepon selular membalas pesan singkat.
Jikalau saja tubuhnya tak ditarik oleh seorang ibu, pasti sudah menjadi slah satu korban amuk angin. "Awas mba!" teriak sang ibu. Jantungnya terasa berhenti kala itu.
Ia terlamun.
Tak ada siapapun di rumahnya.
Tak ada siapapun juga yang berani keluar dari rumah.
Ia coba untuk menghubungi sekali lagi, baru beberapa deringan. Mati.
"Sial! Kenapa harus habis baterai! Sh**!" ungkapnya sambil gemetar menahan dingin.
Emosinya mulai memuncak tak jelas kala itu. Semua bercampur menjadi satu.
Ia begitu lelah, setelah dari pagi hingga petang berlatih.
Ia begitu lelah. Lelah. Sungguh.
Tiga jam ia harus menanti untuk benar-benar reda.
Ia mulai berjalan mencari alat transportasi yang mungkin cukup dengan jumlah kepingan uang yang kupunya sekarang. Tak ada sedikitpun.
Ia terlihat berantakan, sungguh berantakan.
Sejak semalam ia sudah begitu berantakan, terlelap hanya dua jam, sisanya terbangun oleh lamunan rindu, sampai-sampai hidungnya berdarah entah mengapa.
Benar-benar ia menanti sapaannya. Telefon maupun setidaknya pesan singkat. Tapi sepertinya tak akan ada. Tiap menit diceknya layar telefon itu. Lalu ia mulai tak tahan dan mengetik.
Pagi, ucapnya.
Kakinya mulai gemetar karena lelah berjalan dan dingin yang menusuk.
Kata 'Andai' mulai membayang di pikiran, seperti gadis korek api yang berimaji di tengah dinginnya salju.
Andai saja... Andai saja... Andai saja...
Tubuhnya seakan terasa melayang saat itu, seperti tak sadar.
Sesampai di rumah, sepi.
Langsung dengan sigap ia menuju kamar,
mencharge telepon genggam, dinyalakan,
sayang, tak dapatkan apa-apa.
Terasa hela nafas yang begitu panjang sampai tiba-tiba
meledaklah tangisannya kala itu.
Suara serak tangisan sambil berteriak layaknya ada penculik memenuhi ruangan.
Tangisan dan teriakan karena lelah,
dari tubuh yang masih terbalut pakaian basah bermandikan hujan.
Suaranya,
semakin lama semakin lirih,
dan nantinya akan tertidur dengan sendirinya,
menggenggam foto wajah pujaan rupawan yang dirindu.
Sunday, November 3, 2013
Tuut.. Tuut..
Sayang,
Aku rindu.
Aku begitu rindu.
Sayang, apakah kau juga?
Sayang,
Aku cinta.
Aku begitu cinta,
hingga tak pernah bisa waktu menahan rasa cintaku.
Akupun tak mampu.
Aku selalu mencintaimu.
Sayang, apakah kau juga?
Sayang,
Aku tak ingin seperti ini.
Sebenar-benarnya kita tak menyukai ini.
Sayang,
Aku rindu dirimu yang hangat seperti biasanya,
mentari yang selalu menyinari,
seorang lelaki pilihan pendamping kini dan nanti.
Sayang,
apakah kau mendengar dan merasakannyanya?
Lantunan nada itu?
Ya.
Hanya berdegup untuk dirimu, sayang.
Subscribe to:
Posts (Atom)