BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Tuesday, May 28, 2013

Toga Untuk Sang Pendongeng

Waktu berdetak dengan cepatnya. Tak terasa sudah tiga tahun dihabiskan di dalam gedung elit tersebut dengan orang-orang berintelektual tinggi.

Kisah juga sudah begitu banyak mewarnai lembarannya, dimulai dari hal yang paling sepele seperti kisah persahabatan, percintaan bahkan hingga edukasi dan organisasi.
Bisa dikatakan aku sungguh beruntung bisa selalu di dongengkan oleh kisah-kisah hidup kesehariannya. Dikenalkan dengan dunianya yang menurutku tak biasa seperti kebanyakan orang. Kesibukannya adalah detak jantungnya saat ini, maklum aku tau dia orang yang begitu aktif.
Kuakui bukan hanya secara fisik ia unggul namun secara intelektualpun. Ya itulah mengapa tak heran ia menjadi seorang bintang, bangga. :)
Ya walau seringkali suka membuatku juga cukup merasa cemas dan was-was. Namun sampai sekarang ia masih tetap setia berada di sampingku saat ini dan selalu memegang tanganku sambil mendongengkanku.

Waktu tidak banyak untuknya sekarang. Ia harus segera menyelesaikan tugas-tugas akhirnya. Dimulai menuju ke tanah orang lain di seberang sana yang banyak dikata pantainya begitu indah, Belitung. Selama dua bulan ia akan mengabdi untuk masyarakat disana.
Rindu? Pastinya.
Dilanjutkan dengan tugas akhirnya yang utama agar ia bisa memegang toga dan melemparnya ke udara. Tersenyum dengan manisnya, bersama keluarga, dan ku hadir membawakan boneka seperti dirinya dan bouqet bunga untuknya. Ya aku juga bgitu ingin melihatnya di panggung itu nanti.

Dilema. Itu yang sekarang kurasakan dalam dirinya. Melanjutkan gelar atau langsung terjun mencari pengalaman hidup. Sebenarnya ku cukup yakin ia bisa melakukan keduanya, asalkan saja ia juga yakin dengan dirinya.
Ya, seperti saat-saat inilah aku seketika terpikirkan, pikiran mulai tidak fokus melayang entah kemana. Hal-hal kecil yang tadinya tak ingin kuingat, tiba-tiba ikut terselip dalam pikiran, hanya membuat hati dan pikiran ditipu sehingga cemburu.

Ia orang yang luar biasa menurutku. Tangguh meski tak terlihat seperti itu. Tapi jangan nilai saja melalui rupanya yang manis dan sendu itu. Ia lembut namun mematikan juga.
Ya, itulah salah satu dari beribu-ribu alasanku mengapa ku begitu menyayanginya dan mencintainya. Bukan dari ada apa yang dimiliki namun apa adanya ia yang membuatku semakin mencintainya.
Ia berbeda sungguh orang yang berbeda.

Teruslah sayangku, jangan ragu dan takut akan dirimu. Ku ingin melihatmu bukan sebuah bintang lagi, namun melihatmu menjadi sesungguhnya seorang pria yang menggapai mimpinya. :)

Coretan sore
Untuk ia, sang pendongengku yang setia.

Tuesday, May 21, 2013

Lukisan Malam

Ia belum tertidur, hari sudah terlalu larut, tapi tidak untuknya.
Ia duduk, menyilakan kaki dan memangku buku sketsa miliknya, di sekelilingnya penuh dengan drawing pen, spidol, dan pensil warna dengan kuas kecilnya.
Diam, tertutup, bibirnya.
Menari, gemulai, tangannya.
Menggoreskan tinta dengan pasti.
Garis lembut, kuat, tebal, tipis, semua tertuang dalam buku sketsa miliknya.

Perlahan garis itu menjadi sebuah bentuk wajah.
Cantik dan tampan.
Rupawan.
Terlihat mereka bersandar pada pohon yang sedang berguguran daunnya, di atas bukit yang hijau dekat dengan rumah.
Manis, wanita terlelap di pelukan pria yang membaca tentang kehidupan.
Belajar untuk semakin melindungi sang wanita.

Entah apa yang membuat dirinya menggoreskan tinta-tinta tersebut dan membentuknya menjadi sebuah mimpi dalam ceritera.
Mimpi manis seseorang bersama yang dikasihi.
Akankah ia juga atau akan memimpikannya?
Tak tahu. Yang jelas itu hanyalah ceritera mimpi tentang rindu, sekarang dan esok nanti, hingga tutup usia.

Wednesday, May 8, 2013

Gadisku Sayang

Untuk gadis yang kusayangi.
Tersenyumlah untuk ia yang kau cintai.
Bersyukurlah untuk ia yang dicintai.

--

Disana gadis bergelang merah dan cokelat itu duduk manis.
Sendiri dipojokan meja kayu.
Entah apa yang sedang dibacanya, terlihat begitu serius ia mengartikan tiap kata yang tertulis.

Angin pagi itu cukup sejuk bersahabat.
Matahari pun bersinar dengan ramahnya.
Memang waktu yang paling disukai gadis itu untuk membaca dan menyendiri.
Meski memang ramai orang berlalu-lalang di sekitarnya, ia, sang gadis tetap berada pada dunianya.

Sesekali wajahnya yang tertunduk membaca naik menatap taman hijau tepat di depan dirinya.
Satu, dua, tiga, hingga kelima kalinya ia menghela napas yang cukup dalam.
Tidak, sepertinya ia tidak terfokus pada buku di hadapannya itu.
Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari kembali membaca buku dalam genggamannya itu.

Tiga menit berlalu, pikirannya yang terhanyut oleh hati terpecah oleh kedatangan seseorang.
Ia terlihat sedikit terkejut dan malu.
"Mana?" tanya orang itu.
Butuh dua detik untuk gadis itu menjawabnya,"Itu...."
Suaranya terdengar parau, ia seperti ingin menatap orang itu namun takut.
Kumelihat gadis itu mengangkat wajahnya, ia berusaha tersenyum namun terlihat begitu sulit.
Wajah lembutnya terlihat sedikit basah, hidungnya menjadi merah seperti Rudolph.
Mungkin karena itu ia tak berani menatap orang itu.

Dia pergi. Membawa kotak dalam genggaman.
Sang gadis kembali duduk, diam, bukunya terbuka namun tak dibacanya.
Pandangannya kosong tak tahu kemana arahnya.
Sempat sebelum ku beranjak untuk pergi aku menghampiri dirinya.
Gadis itu tersenyum manis padaku, namun senyum yang lelah.
Kulihat bukunya sedikit basah karena tangannya yang berkeringat dingin dan bekas tetes hujan yang jatuh dari pipinya.
Ia hanya berkata padaku,"Aku tak tahu lagi harus berbicara apa dan bagaimana. Persik yang dulu dan sekarang satu kandang denganku, puteri di kota jauh, dokter berbintang, siapa lagi? Aku menjadi asing, aku siapa? Dia, selalu saja, apakah tidak mengerti? Aku....."
Ucapannya terputus karena sesaknya kambuh, hasil lelah dari pikiran dan hatinya.
Ku hanya memeluknya, menenangkannya agar tidak semakin parah.
Sembari memeluknya ku berkata,"Sudah, biarkan saja, kau sudah cukup lelah, tak perlu lagi kau berkata. Simpanlah baik-baik. Ia pun bukan tidak pandai, hanya bodoh saja mungkin tak dapat menyadari. Mungkin juga bukan ia tidak mengerti hanya saja ia belum paham, masih bermain-main dalam dunianya."

Gadis itu terdiam, memelukku kembali dengan tangannya yang kecil.
Sejadi-jadinya ia menangis dalam dekapku, entah apa yang ia katakan, ia bergumam.
"Sudah, sudah. Aku bisa ikut menangis nanti melihatmu seperti ini, kau cantik sayangku, jangan nodai itu."
Satu jam aku bersamanya.
Yang terakhir kudengar dari yang ia ucapkan adalah,"Lelah. Aku ingin tertidur selamanya."

Tuesday, May 7, 2013

Potrait

Kau lihat malam ini begitu indah bukan?

Ku ingin bercerita kepadamu tentang potrait.

Aku duduk dibawah sinar rembulan, menikmati secangkir teh hangat sembari membaca buku tebal itu.
Kubuka lembar demi lembar, satu per satu, dan seketika tangan ini berhenti pada lembar terakhir bab pertama.
Pandangan mata berubah.
Tangan yang berhenti sesaat, lalu bergerak kembali meraih buku kecil yang tergeletak di samping persis cangkir teh itu.
Entah mengapa tiba-tiba konsentrasi berubah menuju ke buku kecil itu.
Kubuka buku kecil merah itu, kubuka lembaran yang dibatasi oleh tali pembatas.
Terlihat secarik kertas berwarna merah jambu, diikat oleh pita kecil berwarna ungu dan pink.
Di dalamnya tertulis kata-kata yang selalu membuatku tersenyum ketika ku membacanya, ditulis oleh tangan indahnya, diukir dengan hurufnya yang tipis namun pasti.
Di samping kertas itu terdapat selembar wajahnya terbingkai manis dalam potrait.
Lima, sepuluh, lima belas menit, entah hingga berapa lama ku memandangi.
Senyum, senyum merekah di bibir. Sayang, di ikuti dengan hujan yang turun membasahi pipi yang merona.
Sesak. Sesak rasanya, tak dapat ku menghirup sedikitpun udara malam ini. Kenapa? Kenapa tiba-tiba ku merasa sesak? Apa mungkin karena kondisi dunia maya yang sedari tadi juga kuperhatikan? Tak tahu.
Dering pesan singkat masuk memecah lamunanku, kubuka, kubaca.
Oh.. ternyata ia, dalam potrait. Mengingatkan untuk bersantap malam. Terpaku selama tiga detik dan kututup.
Terimakasih, namun maaf aku tak dapat memenuhinya, untuk malam ini saja.
Saat ini aku tak dapat merasakan apapun, hanya rasa lelah yang menyelimuti.
Lelah. Cukup lelah untuk hari ini. Dari kelas yang cukup melelahkan, bermain-main bersama hujan hanya untuk bisa pulang, berhadapan dengan hal yang tak diduga, berteman dengan alasan dan kepalsuan, menjaga diri agar tetap sadar dalam dunia nyata.
Tak kuduga, ya, sungguh tak kuduga. Ternyata.
Kutenggak habis teh itu, langsung kurebahkan tubuh ini dan berbalut dengan selimut putih tebal, tak lupa kaos putih melingkar di leher. Sepertinya aku akan tertidur lelap dan terbang bersama mimpi, meski hanya secangkir teh yang mengisi.
Maaf sayangku, hari ini aku begitu lelah, ingin ku berbagi namun keadaan melarang.
Malam ini ku hanya ingin tertidur dan bermimpi akan potraitmu, membiarkan angin malam menyapu semua rasa lelah dan murka.
Maaf sayangku, malam ini tak ada lagi senandung pengantar tidur.
Tapi aku ada jika kau tak dapat berkawan dengan malam, memanggil namaku dalam desir angin yang lembut membuai sukma, dimana, mungkin dapat membuatku tersadar untuk menemani.
Jika tidak, biarlah angin-angin itu membuaiku menuju peristirahatan.
Untuk esok ku berdoa, selalu, agar matahari membangunkanku, senyum merekah tanpa tetes hujan ketika melihat potraitmu yang nyata.

Potrait itu selalu tersimpan indah dalam buku kecilnya
dan juga memori dalam dirinya.
Potrait terindah yang takkan terlupa.