Untuk gadis yang kusayangi.
Tersenyumlah untuk ia yang kau cintai.
Bersyukurlah untuk ia yang dicintai.
--
Disana gadis bergelang merah dan cokelat itu duduk manis.
Sendiri dipojokan meja kayu.
Entah apa yang sedang dibacanya, terlihat begitu serius ia mengartikan tiap kata yang tertulis.
Angin pagi itu cukup sejuk bersahabat.
Matahari pun bersinar dengan ramahnya.
Memang waktu yang paling disukai gadis itu untuk membaca dan menyendiri.
Meski memang ramai orang berlalu-lalang di sekitarnya, ia, sang gadis tetap berada pada dunianya.
Sesekali wajahnya yang tertunduk membaca naik menatap taman hijau tepat di depan dirinya.
Satu, dua, tiga, hingga kelima kalinya ia menghela napas yang cukup dalam.
Tidak, sepertinya ia tidak terfokus pada buku di hadapannya itu.
Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari kembali membaca buku dalam genggamannya itu.
Tiga menit berlalu, pikirannya yang terhanyut oleh hati terpecah oleh kedatangan seseorang.
Ia terlihat sedikit terkejut dan malu.
"Mana?" tanya orang itu.
Butuh dua detik untuk gadis itu menjawabnya,"Itu...."
Suaranya terdengar parau, ia seperti ingin menatap orang itu namun takut.
Kumelihat gadis itu mengangkat wajahnya, ia berusaha tersenyum namun terlihat begitu sulit.
Wajah lembutnya terlihat sedikit basah, hidungnya menjadi merah seperti Rudolph.
Mungkin karena itu ia tak berani menatap orang itu.
Dia pergi. Membawa kotak dalam genggaman.
Sang gadis kembali duduk, diam, bukunya terbuka namun tak dibacanya.
Pandangannya kosong tak tahu kemana arahnya.
Sempat sebelum ku beranjak untuk pergi aku menghampiri dirinya.
Gadis itu tersenyum manis padaku, namun senyum yang lelah.
Kulihat bukunya sedikit basah karena tangannya yang berkeringat dingin dan bekas tetes hujan yang jatuh dari pipinya.
Ia hanya berkata padaku,"Aku tak tahu lagi harus berbicara apa dan bagaimana. Persik yang dulu dan sekarang satu kandang denganku, puteri di kota jauh, dokter berbintang, siapa lagi? Aku menjadi asing, aku siapa? Dia, selalu saja, apakah tidak mengerti? Aku....."
Ucapannya terputus karena sesaknya kambuh, hasil lelah dari pikiran dan hatinya.
Ku hanya memeluknya, menenangkannya agar tidak semakin parah.
Sembari memeluknya ku berkata,"Sudah, biarkan saja, kau sudah cukup lelah, tak perlu lagi kau berkata. Simpanlah baik-baik. Ia pun bukan tidak pandai, hanya bodoh saja mungkin tak dapat menyadari. Mungkin juga bukan ia tidak mengerti hanya saja ia belum paham, masih bermain-main dalam dunianya."
Gadis itu terdiam, memelukku kembali dengan tangannya yang kecil.
Sejadi-jadinya ia menangis dalam dekapku, entah apa yang ia katakan, ia bergumam.
"Sudah, sudah. Aku bisa ikut menangis nanti melihatmu seperti ini, kau cantik sayangku, jangan nodai itu."
Satu jam aku bersamanya.
Yang terakhir kudengar dari yang ia ucapkan adalah,"Lelah. Aku ingin tertidur selamanya."
Wednesday, May 8, 2013
Gadisku Sayang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment